Banten sudah memiliki kebudayaan yang cukup melimpah. Investarisasi dan penelitian peninggalan purbakala yang di mulai sejak abad ke-19 di daerah Banten ini membuktikan akan hal tersebut. J.W.G.J Prive, seorang kontrolir Belanda pada tahun 1896 melaporkan adanya temuan bangunan kuno di dekat desa Citorek, Bayah, yang kemudian dikenal sebagai bangunan punden berundak “Lebak Sibedug”.Kemudian dalam bukunya “Rapporten van der Oudheikundingen Dienst in Nederlansch Indie” tahun 1914 menyatakan bahwa disekitar Kabupaten Pandeglang ada peniggalan arkeologi berupa arca nenek moyang, beberapa kapak batu dari hasil penggalian arkeolog di pamarayan (Kolelet) dan patung tipe Polinesia di Tenjo “Sanghyang Dengdek” Pendirian monumen-monumen Megalitikum dengan beragam bentuk seperti Punden Berundak, arca, menhir, dolmen, dan batu bergores turut memperkaya budaya dan tradisi masyarakat Banten pada masa lalu. Tradisi megalitik mulai ada sekitar 4500 Tahun ketika manusia mula hidup menetap dengan mata pencaharian bercocok tanam dan beternak. Sampai hari ini tradisi megalitik tersebut oleh sebagian masyarakat adat masih ditaati dan dipatuhi secara konsisten dan berkesinambungan.
Kebudayaan banten kemudian semakin berkembang setelah berbaur dengan kebudayaan luar. Pengaruh budaya luar tersebut datang dari India yang membawa pengaruh agama Hindu dan Budha. Masuknya pengaruh India juga berdampak pada sistem sosial dan pemerintahan di Nusantara, ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan. Dan salah satu kerajaan Hindu yang pertama berdiri di Banten ialah kerajaan Banten Girang yang diperkirakan berdiri sejak abad ke- 10 sampai dengan abad ke-16.
Banten Girang merupakan bagian dari kerajaan sunda yaitu kerajaan Taruma. Menurut sejarah Banten, sesampai di Banten Girang, Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin mengunjungi gunung pulosari yang saat itu merupakan tempat kramat untuk kerajaan. Di sana Sunan Gunung Jati dijadikan sebagai peimpin untuk masyarakatsetempat yang masuk Islam.
Sunan Gunung Jati menaklukan Banten Girang secara militer. Kemudian ia dijadikan raja dengan restu raja Demak. Dengan kata lain, Sunan Gunung Jati bukan mendirikan kerajaan baru tetapi merebut kekuaasaan dari kerajaan Banten Girang.
Tahun 1526 kerajaan Demak merebut pelabuhan Banten Girang, ditolong Gunumg Jati, Hasanuddin dan Ki Jonglo. Hasanuddin naik tahta, menggantikan raja “Sanghyang” dan baru meninggal. Peristiwa ini adalah pendirian kerajaan Banten. Namun sampai penghabisan zaman ke-17 Banten Girang Masih dipakai sebagai tempat istirahat raja.Hingga saat ini, belum ditemukan data yang pasti tentang masuknya pengaruh Hindu-Buddha di daerah Banten. Namun, diduga sebelum abad ke-5 pengaruh tersebut sudah ada di Banten. Dugaan ini berdasarkan pada sebuah prasasti yang ditemukan pada tahun 1947, di aliran Sungai Cidanghyang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Karena ditemukan di daerah Munjul, maka prasasti ini dinamakan Prasasti Munjul. Prasasti Munjul berhuruf Palawa dan berbahasa Sanskerta, dipahat pada sebuah batu andesit yang berukuran panjang 3,2 m dan lebar 2,25m. Prasasti Munjul ditulis menggunakan teknik tatah dengan kedalaman gores kurang dari 0,5 cm, sehingga antara permukaan batu asli dengan tulisan hampir sama.
G. J. de Casparis bersama Boechari, dua tokoh yang terkenal di bidang epigrafi, berhasil membaca prasasti Munjul pada tahun 1950. Kemudian pada tahun 1954, Dinas Purbakala RI melakukan transkripsi prasasti tersebut, yang berbunyi sebagai
berikut:“vikranto ‘yam vanipateh prabhuh satyapara (k) ra (mah) narendraddvajabhutena srimatah purnnavarmmanah” yang berarti: “Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang menjadi panji sekalian raja” Dari hasil pembacaan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa daerah Banten pernah termasuk dalam wilayah kekuasaan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara yang berlatar belakang agama Wisnu. Wilayah Kerajaan Tarumanegara mencakup seluruh dataran rendah dari muara Sungai Citarum sampai ke Selat Sunda. Sekitar abad ke-7, Kerajaan Tarumanegara berakhir dan sesudah itu tidak ada bukti atau berita yang menyatakan kerajaan tersebut masih ada.
Sumber :
Studi Kebantenan dalam Catatan Sejarah.
(Iwan Ridwan, S. Pd.I., M. Pd.I.dkk)