Tahun 2012, saya bersama kawan saya Oji Fahruroji berangkat dari rumahnya ditenjolahang menuju Caringin. Pada saat itu saya merekomendasikan 2 benteng peninggalan Jepang kepada oji untuk dikaji secara kepustakaan. Layaknya seorang peneliti arkeologi, kami membawa peralatan seadanya seperti alat ukur (Meteran), Senter, dan tidak lupa buku catatan. Kebetulan saat itu kami sedang mengisi kekosongan (Libur Kuliah). Setelah itu kamipun tiba dibenteng jepang dan melakukan kajian serta analisis mengenai benteng jepang tersebut. Menurut penuturan warga disekitar, bahwa benteng ini merupakan peninggalan kolonial Jepang yang digunakan sebagai benteng pertahanan. Meskipun ada yang berpendapat bahwa benteng tersebut adalah peninggalan kolonial Belanda sebagaimana tulisan kami sebelumnya akan tetapi setelah melakukan penelitian lebih lanjut kami mengambil kesimpulan bahwa bangunan ini lebih dipercayai merupakan peninggalan kolonial Jepang dengan membandingkan dan menganalisis jenis bangunannya.
Hasil dari kajian kami berdua adalah sebagai berikut ; “Bentuk bangunuan persegi 4 dengan Panjang 5 meter dan lebar 4 meter diukur dari baian atas bangunan benteng, untuk tinggi belum dapat kami simpulkan namun dugaan sementara tinggi 1 meter dikarenakan lantai tertutupi oleh tanah lumpur kering. Apabila berada diatas benteng kita akan melihat 2 lubang (Pentilasi Udara) dengan ukuran yang sama berdiameter panjang 50 cm dan lebar 20 cm dan memiliki ketebalan sekitar 50 cm. cukup kokoh dan kuat sebagai benteng pertahanan dari luar. Terdapat 1 pintu masuk dengan 3 sudut yang tertimbun tanah dengan lebar 70 cm dan tinggi 60 cm. Didalam ruangan terdapat pintu masuk sekita kurang lebih 3-4 meter namun tertimbun tanah. Luas rungan didalam benteng berkisar 3 meter dengan tinggi dari atas kebawah 1 meter.
Dari hasil kajian diatas dapat disimpulkan bahwa Koloni jepang sudah menduduki Caringin Pada abad ke 19 m. maka perlulah kita menyadari betapa pentingnya benda cagar budaya ini dilestarikan mengacu pada UU RI Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagaimana yang dimaksud.
Demikian yang bisa penulis sampai- kan kurang lebihnya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan ini. Pena hitam (Hendar Kiswanto)