BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nama Banten dalam sumber lokal tercatat pada naskah Carita
Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1580 dan menyebutkan adanya sebuah
tempat yang disebut Wahanten Girang yang dapat dihubungkan dengan nama Banten.
Dalam Tambo Tulangbawang dari Primbon Bayah, serta berita Cina
hingga abad ke-13, orang menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili. Kota
Banten awal mulai tumbuh sekitar abad ke-11 atau abad ke-12 Masehi. Ketika itu
Banten diduga sudah menjadi pemukiman urban penting, yang dilengkapi dengan
parit dan benteng. Masyarakat dalam pemukiman itu melakukan kegiatan kerajinan,
dari pakian sampai tembikar, peleburan besi dan perunggu, perhiasan emas, dan
manik-manik.[1]
Dalam perkembangannya Banten itu menjadi sebuah Kesultanan,
Kesultanan Banten ini setahap demi setahap berupaya memperluas wilayah
kekuasaan ke daerah sekitrnya yang dipandang dapat menguntungkan perrekonomian
dan suatu waktu bisa membahayakan eksistensi mereka. Banten sebagai kota
pelabuhan antarpulau dan antarnegara kemudian tumbuh pesat seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan Kesultanan Banten sebagai kerajaan Islam yang
didirikan oleh Syarif Hidayatullah bersama anaknya Hasanuddin.[2]Dalam
makalah ini, Kami akan membahasa mengenai Kesultanan Banten dalam konteks
Proses berdirinya dan perkembangannya, sistem politiknya, dan peran serta ulama
dalm kesultanan Banten.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Proses Berdiri dan Berkembangnya Kesultanan Banten?
2.
Bagaimana
Sistem Politik dari Kesultanan Banten?
3.
Apa Kedudukan
dan Peran Serta Ulama dalam Kesultanan Banten?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui Proses Berdiri dan Berkembangnya Kesultanan Banten.
2.
Untuk
mengetahui Sistem Politik dari Kesultanan Banten.
3.
Untuk
mengetahui Kedudukan dan Peran Serta Ulama dalam Kesultanan Banten.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses Berdiri
dan Perkembangan Kesultanan Banten
Peletak dasar nilai keislaman di kawasan Sunda ialah Nurullah dari
Samudera Pasai. Beliau datang ke sana pada tahun 1525 atau 1526 atas penntah
Sultan Demak (Trenggono). Kedatangan Nurullah atau SyarifHidayatullah atau
Fatahilah yang kemudian menjadi Sunan Gunung Jatidi Jawa bagian barat itu
dengan missi pertama penyebaran Islam (missi agama) dan kedua memperluas
wilayah kekuasaan Demak (misi politik).Sesampainya di kota pelabuhan Banten ia
segera menyingkirkanBupati setempat baru kemudian pada tahun 1527 Sunda
Kelapa(pelabuhan tua) dapat direbutnya. Runtuhnya pelabuhan Sunda Kelapayang
amat berharga bagi kerajaan Pajajaran Hindu itu kemudian sebagaiperingatan atas
peristiwa bersejarah ini maka kota tersebut diberi namaJayakarta yang di abad
ke-20 nanti terkenal dengan Jakarta.[3]
Pada awal abad ke-15 Masehi, di pesisir utara teluk Banten telah
tumbuh kantong-kantong pemukiman orang-orang muslim. Saat itu Banten telah
menjadi salah satu Bandar penting Kerajaan Sunda yang ibu kota kerajaannya
terletak di dekat Kota Bogor sekarang. Selain Banten, beberapa Bandar penting
Kerajaan Sunda pada awal abad ke-16, sebagaimana disebut oleh Tome Pires (1513)
adalah Pondam (Pontang), Tamgaram (Tanara), Cheguide (Cigede), Calapa (Kalapa),
dan sebagainya. Sebenarnya menjelang abad ke-16 beberapa Bandar yang terletak
di utara Jawa seperti Gresik, Demak, dan Banten telah menjadi jalur dan pusat
sosialisasi Islam di Jawa yang dilakukan oleh para wali. Penguasaan
bandar-bandar ini merupakan upaya menuntaskan Islamisasi pantai utara Pulau
Jawa.[4]
Banten sebagai kota pelabuhan antarpulau dan antarnegara kemudian tumbuh pesat
seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kesultanan Banten sebagai kerajaan
Islam yang didirikan oleh Syarif Hidayatullah bersama anaknya Hasanuddin.[5]
Islamisasi Banten, menurut cerita tradisi sebagaimana disebutkan
dalam berbagai babad, dilakukan oleh Syarif Hidaytullah (Sunan Gunung Jati)
bersama 98 orang muridnya dari Cirebon yang datang ke Banten. Ia berusaha
mengislamkan Banten Ilir dan berhasil (Ambary, 1995: 2). Dalam Babad Banten diceritakan
bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin), hasil
pernikahannya dengan Dewi Kawunganten, datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk
mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Mula-mula mereka datang di Banten
Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 ajar
yang kemudian semuanya menjadi pengikut Hasanuddin. Di lereng Gunung
Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keislaman
kepada anaknya. Setelah ilmu yang dikuasai Hasanuddin dianggap cukup, Sunan
Gunung Jati memerintahkan supaya anaknya itu berkelana sambil menyebarkan agama
Islam kepada penduduk negeri.[6]
Setelah Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon, menurut Babad
Banten, Islamisasi dilanjutkan oleh Hasanuddin dengan berdakwah daru satu
daerah ke daerah lain, mulai dari Gunung Pulosari, Gunung Karang, Gunung Lor,
sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Setelah tujuh tahun melakukan tugasnya
itu, Hasanuddin bertemu kembali dengan ayahnya, yang kemudian membawanya pergi
menunaikan ibadah haji ke Mekkah.[7]
Dalam menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin menggunakan
cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyambung ayam
ataupun mengadu kesaktian.[8]Diceritakan
bahwa dalam acara menyabung ayam di Gunung Lancar yang dihadiri oleh banyak
pembesar negeri, dua orang ponggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo disebut
juga Ki Jongjo memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.
Babad Banten selanjutnya
menyebutkan bahwa usahs Islamisasi berhasil secara menakjubkan. Hasanuddin
berhasil mengislamkan masyarakat Banten yang di dalamnya terdapat 800 orang
resi (pertapa). Setelah berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umum di Wahanten
Girang (Banten Girang) pada tahun 1525, Hasanuddin atas petunjuk Sunan Gunung
Jati, pada tanggal 8 Oktober 1526, memindahkan pusat pemerintahan Banten, yang
tadinya berada di pedalaman Banten Girang (tiga kilometer dari Kota Serang), ke
dekat pelabuhan Banten. Dalam pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir
tersebut, Sunan Gunung Jati pulalah yang menentukan posisi dalem (istana),
benteng, pasar, dan alun-alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten
yang kemudian diberi nama Surasowan. Tempat ini kemudian menjadi ibu kota
Kerajaan Banten sejak tahun 1526 Masehi.[9]
Pemilihan Surasowan sebagai ibu kota Kesultanan Banten sebagai
pusat administrasi politik kesultanan Islam, nampaknya didasarkan atas
perimbangan antara lain karena Surasowan lebih mudah dikembangkan sebagai
bandar pusat perdagangan. Oleh karena Banten semakin besar dan maju, maka pada
tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi
Negara bagian Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai raja di Kesultanan
Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surasowan.Kesultanan
Banten dirintis pendiriannya oleh tiga unsur kekuatan, yaitu kekuatan-kekuatan
dari Cirebon, Demak, dan Banten sendiri sejak awal abad ke-16 Masehi.
Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian
pembentukan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer
(1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu
pemerintahan yang berdiri sendiri diberi nama Kesultanan Banten.[10]
Sebagai penguasa Islam baru di Banten ia bersikap sebagai
bawahanDemak. Wilayah kekuasaannya meliputi Banten, Jakarta dan Cirebon.Pada
masanya usaha untuk menjarah Pakuan Pajajaran masih belumterencana hal ini
karena disamping jangkauannya agak jauh dari pantaijuga disibukkan oleh usaha
pembenahan kekuasaan barunya terutamadalam mengantisipasi masa transisi budaya
dari Hindu ke Islam bahkanuntuk kepentingan ini ia harus berpindah-pindah
tempat, kadang-kadangdi Banten kadang di Cirebon.Baru setelah Pangeran
Pasareyan dijadikan vvakilnya di Cirebontugasnya sedikit berkurang. Pangeran
Pasareyan hanya sebentar berkuasa,ia meninggal dalam usia yang relatif muda
pada tahun 1552. Kematiannyamemaksa Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon untuk
selama-lamanya.[11]
Adapun Banten dan Jayakarta penguasaannya diserahkan kepada
putranyaHasanudin.Ada satu persoalan yang patut dipaparkan di sini ialah
setelahpelabuhan Sunda Kelapa direbut Sunan Gunung Jati pada tahun 1527,orang
Portugis yang telah mengadakan perjanjian dengan Sang Hyangdari Pajajaran tahun
1522 datang ke Sunda Kelapa untuk mendirikanperkantoran dagang mereka tidak
mengerti kalau daerah tersebut telahdikuasai oleh Islam. Terang saja kehadiran
mereka disambut dengan kekerasan senjata.[12]
Hasanudin, penguasa kedua Banten, melanjutkan cita-cita ayahnya untuk
meluaskan pengaruh Islam. Banvak tindakan progresif yang ialakukan dalam rangka
memberikan arah terhadap kesultanan yang barumuncul tersebut. Membangun tempat
tempat ibadah (masjid agung Bantendan Pacinan) dan sarana pendidikan berupa
pesantren di Sasunyatan(pengembangannya terjadi pada masa pemerintahan Maulana
Yusuf)adalah karya nyata Maulana Hasanudin yang menumental terhadapgenerasi penerusnya.Tercatat
kekuasaan Banten saat itu meliputi seluruh Banten,Jayakarta, Krawang, Lampung
dan Bengkulu. Banten yang dulunya hanyamerupakan Kadipaten, pada tahun 1552
berubah menjadi negara bagianDemak dan Pangeran Hasanudin ditunjuk sebagai
Sultannya bahkantatkala kesultanan Demak runtuh dan di ganti Pajang pada tahun
1568Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten sebagai kesultanan yangmerdeka
dan indipenden tanpa terkait dengan penguasa Pajang.Pusat pemerintahan yang
semula berada di Banten Girang dipindahkanke Banten Lor (Surosowan). Inisiatif
Syarif Hidayatullah ini dimaksudkanagar secara politis dan ekonomis memudahkan
hubungan antarapesisir utara Jawa dengan pesisir Sumatra Barat, Selat Sunda dan
Malaka.[13]
Pada sekitar tahun 1570 M Sultan pertama Banten wafat dandigantikan
putra sulungnya, Pangeran Yusuf. Setelah meninggal MaulanaHasanuddin terkenal
dengan nama anumertanya "Pangeran Saba Kingking"[14]Dibavvah
kuasa Pangeran Yusuf, kharisma Banten naik selangkahlebih tinggi. Proses
Islamisasi pun nampak tambah sempurna. Seluruhwilayah Banten, baik di pusat
kota Banten Girang, Banten Surowowanmaupun daerah selatan telah mengikuti agama
Islam, hal ini disebabkankarena Adipati Pucuk Umum (penguasa tertinggi Banten
Hindu) telahmenyerahkan kekuasaanya kepada penguasa Islam.Pesantren Kasunyatan
yang telah dirintis oleh Sultan Hasanuddindikembangkannya secara intensif
sehingga mampu mengorbitkan kaderkaderagama yang handal dan bertanggungjawab.
Salah satu karya nyatadari kegiatan ilmiah di pesantren Kasunyatan ialah sebuah
Al-Qur'andengan tulisan tangan yang kini tersimpan di cungkup makam
MaulanaYusuf. Masjid Agung Banten bukan saja sebagai sarana ibadah mahdahtetapi
sifungsikan sebagai tempat dakwah dan bahsul masa'il ad-dien(diskusi
problematika agama) bagi ulama-ulama saat itu.[15]
Dalam upaya perluasan wilayah Islam Maulana Yusuf, yang
dicatatBabad Banten sebagai penguasa yang gagah perkasa dan memilikketrampilan
ïstimewa dalam berperang, dengan dibantu prajurit dan tokohagama telah mampu
meruntuhkan secara pasti kerajaan 'kafir' tuaPajajaran dan merebut Pakuan
(Ibukota Kerajaan). Sukses besar lainnya yang dicapai selama ia berkuasa ialah
perhatiannyaterhadap pertanian, langkah ini ternyata membuat peri kehidupan
rakyat Banten menjadi lebih makmur. Waduk atau danau buatanyang disebut
"Tasikardi" merupakan inisiatifnya untuk
mengairipersawahan-persawahan sekaligus dimanfaatkan untuk kebutuhan istanadan
kota sekitarnya.[16]
Maulana Yusuf wafat tahun 1580 dimakamkan di Pekalongan Gededekat
Kasunyatan maka ia terkenal dengan nama anumertanuya "PangeranPanembahan
Pekalongan Gede" atau "Pangeran Pasareyan".Meninggalnya Maulana
Yusuf menimbulkan intrik politik di istanaBanten yang baru merambah kejenjang
suksesinya. Pangeran Arya Jepara(adik Maulana Yusuf yang dididik di Jepara oleh
Ratu Kalinyatat) datangke Banten untuk meminta supaya dirinya diangkat sebagai
penggantisaudaranya sementara menunggu sampai pangeran pewaris tahta
menjadidewasa. Saat itu usia Pangeran Muhammad (putra mahkota) baru 9
tahun.Akan tetapi Kadli dan pejabat besar istana lainnya memutuskanuntuk tetap
menobatkan Pangeran yang masih belum dewasa itu sebagiSultan Banten untuk
mengganti ayahnya. Adapun masalah jalannyapemerintahan sepenuhnya diperwalikan
kepada Mangkubumi sampai sangPangeran dewasa.
Merasa kehendaknya tidak terkabul, maka tersinggunglah PangeranArya
Jepara dan terjadilah bentrokan senjata antara kedua belah pihak.Dalam
pertempuran itu Pangeran Jepara kalah dan akhirnya ia kembali ke Jepara dengan
tangan hampa.[17]Setelah
dewasa Maulana Muhammad terkenal sebagai seorang yangshalih dan memiliki ghirah
yang kuat untuk menyebarluaskan Islam, iabanvak mengarang kitab serta membangun
sarana-sarana ibadah sampaike pelosok desa. Menjadi imam dan Khatib adalah
kebiasaannya.Walaupun kemajuan yang diperoleh Maulana Muhammad tidaksetinggi
ayahnya namun ada suatu peristiwa menonjol yang terjadi padamasa kekuasaannya,
yaitu penyerbuan atas Palembang. Ekspedisipenyerangan ini bermula dari bujukan
Pangeran Mas (putra Aria Tangin)yang berambisi menjadi raja di Palembang untuk
menganeksasi daerahtersebut sebagai upaya perluasan daerah Islam. Sayang dalam
pada ituSultan Banten yang relatif masih muda itu gugur di medan tempur
padatahun 1596 dengan meninggalkan seorang pewaris tahta yang baru berusia 5
bulan.[18]
Pengganti Maulana Muhammad putranya Sultan Abdul MufakhirMahmud
Abdul Kadir (1596-1651). Karena saat penobatannya sebagaiSultan Banten keempat
ia masih balita. maka untuk yang kedua kalinyakesultanan Banten diserahkan
kuasanya (sebagai wali) kepadaMangkubumi Jayanegara, ia termasuk abdi yang
memiliki loyalitas tinggisehingga ketika Banten berada dalam kuasanya. Baik
periode MaulanaMuhammad maupun periode Abdul Mufakhir tetap dalam kondisi
stabildan tenteram.Semenjak Mangkubumi Jayanegara wafat tahun 1602, suasanaBanten
mulai dirundung oleh kemelut yang menyeret kelembah kesuraman. Iri dan ambisi
mewarnai pangeran-pangeran Banten - mereka mulaibertindak sendiri-sendiri -
kontrol pun terasa mulai mengendor.Pemberontakan bermunculan di sana-sini
sehingga boleh dikatakan periodeini merupakan periode terburuk bagi Banten saat
itu.Diluar istana (pada sisi lain) pengaruh Asing mulai terasa
akibatkebijaksanaan-kebijaksanaan Mangkubumi (pengendali kesultanan)pengganti
Jayanagara, yakni ayah tiri Pangeran sendiri yang begitu terbukaterhadap
mereka.
Suasana bertambah mendung, kekacauan terus memperburukkeadaan.
Mangkubumi sudah tidak mampu lagi mengendalaikan danmengantisipasi keadaan,
kekuasaannya hanya sebatas lingkup istana,sedangkan di luar istana para
pangeranlah yang berkuasa. Keadaan sepertiini berawal dari kehadiran Mangkubumi
yang memancing rasa curigadan iri hati beberapa pangeran lain yang akhirnya
pengkhianatan punterjadi dimana-mana.Aksi pengkhianatan itu berhasil
melumpuhkan Mangkubumi danmembunuhnya. Terbunuhnya Mangkubumi ini bukan berarti
menghentikankemelut yang merundung Banten, akan tetapi justru menarikminat dan
ambisi untuk menduduki jabatan terhormat tersebut atau bahkanmerebut sama
sekali tahta kesultanan Banten. Sikap demikian iniditunjukkan oleh Pangeran
Kulon (cucu Maulana Yusuf) yang di bantupangeran Singaraja dan Tubagus
Prabangsa yang berambisi mendudukitahta kesultanan.
Aksi pemberontakan bisa dipadamkan berkat kerja sama antarapasukan
Sultan, pasukan Pangeran Ranumanggala dan bantuan PangeranJayakarta dan
berakhir dengan perdamaian.Sebagai pengganti jabatan Mangkubumi diangkatlah
Pangeran AryaRanumanggala (putra Maulana Yusuf dari isteri selir). Setelah
memangkujabatan ia segera mengadakan penertiban-penertiban, baik keamanandalam
negeri maupun merekonstruksi kebijaksanaan Mangkubumisebelumnya terhadap
pedagang-pedagang Eropa. Pajak ditingkatkanterutama untuk Kompeni. Tindakan ini
diambil agar para pedagang Asingenyah dari bumi Banten karena ia telah
menangkap maksud-maksudmereka yang bukan hanya berniaga tetapi hendak
mencampuri urusandalam negeri.Tindakan tegas Arya Ranumanggala ini akhirnya
memaksa Kompeniuntuk memalingkan orientasi niaganya ke Jayakarya. Di Jayakarta
merekadisambut ramah oleh Pangeran Wijayakrama dengan suatu dalih kedatanganmereka
akan meramaikan pelabuhan Sunda Kelapa yangnantinya mampu mengimbangi pelabuhan
Banten.[19]
Melihat hubungan intim Pangeran Jayakarta dengan Kompeniterusiklah
hati Mangkubumi Arya Ranumanggala sebagai pemegangkendali Banten yang membawahi
Jayakarta untuk menghancurkanbenteng-benteng asing baik Belanda maupun Inggris
yang ada dikawasanBanten. Maka diutuslah Pangeran Upapatih untuk mengemban
amanatini. Dalam pada itu orang-orang Inggris dapat didesaknya hingga kembalike
kapal mereka selanjutnya pasukan juga bisa mendesak Belanda,sementara Belanda
tetap defensif dan tidak mau menyerah. bantuan dariMaluku tiba.Setelah bantuan
itu datang (dipimpin J .P. Coon) pada bulan Maret1619 kepungan prajurit Banten
tak ada artinya lagi dan mereka kembalidengan membawa kekecewaan. Saat itulah
secara resmi Jayakarta dikuasaioleh Kompeni dan dirubah namanya menjadi
Batavia. Sejak peristiwa itu kontak senjata antara Banten dengan Kompeniagak
tenang, walaupun secara kecil-kecilan masih tetap berlanjut.
Halini disebabkan karena faktor intern istana; peralihan kekuasaan
dariMangkubumi Arya Ranumanggala ( sebagai wali Sultan selama belumdewasa )
kepada Sultan Abdul Mufakhir yang sudah menjadi dewasaserta adanya usaha
Mataram untuk menganeksasi Banten melaluiperantaraan Cirebon. Kontak senjata
antara Banten-Cirebon yang terjaditahun 1650 yang kemudian terkenal dengan
"peristiwa Pagarage" atau"peristiwa Pacerebonan"' walau
dapat dimenangkan fihak Banten namuncukup membuat Banten mencurahkan segala
perhatiannya. Kontak senjata antara Banten-Kompem menjadi aktif kembali
setelahSultan Ageng Tirtayasa menggantikan kakeknya yang meninggal padatahun
1651. Ia berkuasa di Banten (Sorosowan) mulai tahun 1651-1676setelah itu karena
ada perbedaan dengan putranya Sultan Haji ia terpaksapindah ke Tirtayasa dan
menyusun kekuatan di sana untuk mengadakanpenyerangan terhadap Kompeni.
Keadaan Banten semenjak diperintah Sultan Ageng Tirtayasa lebihbaik
lagi, baik di bidang politik, sosial budaya, terutama perekonomiannya.Dalam
bidang perdagangan Banten mengalami perkembangan yang pesat.Hubungan dagangnya
dengan Persia, Surat, Mekkah, Karamandel, Benggala, Siam, Tonkin dan China
cukup mengancam kedudukan VOC yang bermarkas di Batavia. Sebagai seorang yang
taat dalam beragama ia sangat antipati kepadaBelanda. Penyerangan secara
gerilya beliau lancarkan melalui darat danlaut untuk mematahkan kubu pertahanan
Belanda yang bermarkas diBatavia.[20]
Aksi teror dan sabotase yang diarahkan kepada kapal-kapal dagangKompeni
merupakan kendala yang sangat membahayakan bagi Belanda.
Kurang lebih dua puluh tahun lamanya Banten merasakan suasanaaman
dan tentram dibawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa menjadiberubah setelah
putra sulungnya Sultah Abu Nas'r Abdul Kahar atauSultan Haji kembali dari tanah
suci (1676) sebab ia lebih berpihak kepadaKompeni dibanding orang-orang yang
dekat dengan ayahnya. Ia semakinmudah dipengaruhi Kompeni, model hidupnya pun
mencerminkankehidupan orang Eropa pada umumnya. Konsekuensinya rakyat
jadikorban.
Pada tahun 1680 Sultan Ageng Tirtayasa benar-benar
mengalamikesulitan sebab putranya telah membelokkan serta memotong
politiknya.Akhirnya karena dirasa sulit untuk meluruskan jalan pikiran
anaknyayang telah terseret negosiasi yang dilakukan Kompeni ia memutuskanuntuk
hijrah ke Tirtayasa dan membentuk front di sana beserta pengikutsetianya.
Karena itulah nama Abu Fath Abdul Fattah terkenal dengansebutan Sultan Ageng
Tirtayasa.[21]Akan
tetapi bagaimanapun sulitnya (harus berhadapan denganputranya sendiri), ia
tetap tegar pada pendiriannya. Ia beserta parapengikut setianya terus
melancarkan serangan kepada Kompeni yang kianintensif pengaruhnya terhadap
istana Surosowan. Pada 27 Pebruari 1682, Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa baru
berhenti setelah ia ditangkapdan dipenjarakan oleh Kompeni sampai wafatnya
tahun 1692.Dengan ditanda tanganinya perjanjian antara Kompeni dan SultanHaji
pada Agustus 1682, maka kekuasaan mutlak Sultan Banten atasdaerahnya berakhir,
sedang penguasa sebenarnya adalah Kompeni. Sultandi sini hanya simbol
belaka.Pengauruh Belanda semakin terasa intensif setelah Daendelesmenganeksasi
Banten pada tahun 1808. Sultan dan alat-alat politiknyadipertahankan akan
tetapi berada dibawah pengawasan ketat pemerintahBelanda. Para penguasa Banten
diperbolehkan menggunakan gelarSultannya, akan tetapi hakekatnya mereka hanya
boneka belaka, sebabBanten sudah termasuk ke dalam wilayah Belanda.[22]
B.
Sistem Politik
Keslutanan Banten
Sebagaimana kerajaan tradisional lainnya, kekuasaan Sultan di sinimempunyai
otoritas tertinggi serta mempunyai hak prerogratif penuh atassegala urusan,
baik politik atau lainnya. Pengakuan dan pengukuhan atasjabatan Sultan
ditetapkan berdasarkan warisan.Dalam melaksanakan tugasnya (bidang
administratif pemerintahan)Sultan dibantu seorang Mangkubumi dan beberapa
pejabat bawahannya;mereka ini terdiri dari golongan elite yang kebanyakan bukan
golonganpangeran atau kaum bangsawan lain. Adapun khusus untuk kerabat
Sultanatau kaum bangsawan menempati strata lebih rendah di bawah Sultandan
lebih tinggi di atas pejabat administratif.[23]
Untuk urusan birokrasi pusat dikepalai oleh seorang patih
(wazirbesar) yang dibantu dua orang kliwon yang juga disebut Patih,
sedangpengadilan dan keagamaan diserahkan kepada Fakih Hajamuddin.Setingkat di
bawahnya adalah para punggawa yang menangani bidangadministrasi dan
pengawasanterhadap perekonomian negara. Syahbandaradalah pejabat negara yang
ditugasi untuk mengawasi perdangan luarnegeri di kota-kota pelabuhan. Sejajar
dengan pejabat-pejabat di kotakotapelabuhan ialah para kepala daerah.[24]Untuk
mencermati perjalanan sejarah perpolitikan kerajaan Banten,internal maupun
eksternal marilah kita simak fase-fase berikut ini.
1.
Fase Perintisan
Pada mulanya penaklukan atas Banten
oleh Syarif Hidayatullahtahun 1525 atau 1526 hanya bermotifkan politik,
perluasan wilayahDemak dan penyebaran agama Islam dikawasan Jawa Barat yang
masihberada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Pajajaran akan tetapi
setelahSunan Gunung Jati pindah ke Cirebon dan Banten diserahkan
kepadaputranya, Maulana Hasanuddin, Banten diberi hak penuh untuk
membentukkesultanan bawahan Demak dengan Maulana Hasanudin sebagaisultan
pertamanya bahkan tatkala kekuasaan Demak pindah ke Pajang(Jaka Tingkir) Banten
yang dependen pada Demak diproklamasikan olehSultan Maulana Hasanuddin sebagai
kesultanan yang independen.
Selama 18tahun lamanya ia berkuasa
di Banten(1552-1570)banyaksekali kemajuan yang dicapai. Pusat pemerintahan yang
dulunya BantenGirang karena kepentingan strategi politik dan perdagangan ia
pindahkanke Surosowan. Kekuasaan Banten saat itu meliputi seluruh
Banten,Jayakarta, Krawang, Lampung dan Bengkulu. Ini suatu bukti bahwaBanten
yang baru saja tampil di permukaan telah memiliki sistem politikyang bagus.[25]
2.
Fase
Perkembangan
Fase ini diwarnai dengan tampilnya
Maulana Yusuf menggantikanayahnya. Berada di bawah kuasanya BAnten memperoleh
popularitas dangengsi yang tinggi di percaturan politik. Kerajaan Hindu
Pajajaran yangmerupakan simbol kejayaan Pasundan saat itu bisa diruntuhkan
olehkekuatan Maulana Yusuf yang bahu membahu dengan ulama. Dengandemikian maka
lingkup kekuasaan Banten menjadi semakin luas.[26]
3.
Fase Krisis
Politik dan penuh intrik
Meninggalnya Maulana Yusuf tahun
1580 merupakan awalterjadinya intrik politik di lingkungan istana, sebab ketika
beliau wafatputra mahkota Pangeran Muhammad baru berusia 9 tahun. Momentumini
dimanfaatkan oleh Pangeran Arya Jepara (adik Maulana Yusuf) untukmenampilkan
dirinya sebagai pengganti kakaknya. Ia menuntut kepadapembesar kerajaan Banten
untuk menobatkan dirinya sebagai penguasaBanten sampai pangeran yang berwenang
mencapai dewasa. Karenakehendaknya tidak dikabulkan kadli sebagai wali Sultan
maka pertempuranpun tidak dapat dihindarkan lagi. Dalam pertempuran ituPangeran
Jepara dan prajuritnya kalah, akhirnya ia kembali ke Jeparadengan tangan
hampa.Setelah intrik politik yang ditimbulkan Pangeran Arya Jepara usai,suhu
politik Banten mengalami perubahan yang serius; musyawarah kadlimemutuskan
sebagai pelaksana pemerintahan darurat sementara menungguusia Sultan dewasa
adalah Mangkubumi.
Perubahan sistem ini kemudian
membawa pengaruh yang besar bagiperjalanan politik di kesultanan Banten karena
bagaimanapun tampilnyaMangkubumi sebagai pucuk pelaksana pemerintahan telah
memancingrasa cemburu dan iri keluarga bangsawan, terutama kalangan
pangeran.Suasana politik Banten menjadi semakin suram setelah gugurnyaMaulana
Muhammad dalam ekspedisi penyerangan Palembang dalamusia yang relatif muda.
Karena putra mahkota masih 5 bulan usianya,maka untuk yang kedua kalinya
kendali pemerintahan Banten dipegangoleh Mangkubumi.Secara otomatis jabatan mangkubumi
menjadi incaran, banyakpangeran yang berambisi menduduki jabatan bergengsi itu.
Sebagaiakibatnya terjadilah pemberontakan-pemberontakan disana-sini yangmembuat
situasi politik menjadi melemah.
Upava ekspansi tidak mungkin bisa
dilaksanakan saat itu karenauntuk menyelesaikan persoalan intern sendin cukup
banvak menyita waktusementara di luar istana Kompeni dan orang Eropa lainnya
mulai bersiapuntuk memasang politik adu dombanya.Yang sangat tragis (akibat
suhu politik yang tidak sehat) ialahJayakarta, yang merupakan pelabuhan
andalan, terpaksa jatuh ketanganBelanda pada tahun 1619.[27]
4.
Fase Rekonstruksi
Naik tahtanya Sultan Ageng Tirtayasa
sebagai Sultan Bantenmenggantikan kakeknya Sultan Abdul Mufakhir merupakan angm
segarbagi kehidupan politik di Banten.Pembenahan ke dalam serta penataan
aparatur pemerintahan secaratertib adalah langkah awalnya untku mengembalikan
Banten menjadikesultanan yang berwibawa, terutama di mata Kompeni yang mulai
beranimacam-macam di Banten. Setelah itu baru diantisipasi faktor-faktor
lainyang seolah-olah menjadikan Banten lumpuh tak berdaya. Jawaban
yangditemukan ialah adanya penetrasi dan infiltrasi orang asing di bumiwarisan
Sunan Gunung Jati. Karenanya jika Banten ingin mempunyaipengaruh yang kuat
sebagaimana periode-periode awal, maka harusmampu mengusir Kompeni dari wilayah
Banten.
Segera Sultan yang anti campur
tangan asing itu melancarkanserangan-serangannya terhadap Kompeni. Teror
sabotasi dan gerilyaadalah taktik strategi politiknya untuk membuat repot
Belanda. Kontaksenjata antara kedua belah pihak baik di darat maupun di laut
seringterjadi tanpa dapat dihindari sehingga amatlah wajar apabila
Belandamengangap Banten saat itu sebagai musuh yang amat berat.[28]
5.
Fase Lepasnya
Kesultanan Banten Dianeksasi Belanda
Sistem perlawnan Sultan Ageng
Tirtayasa v ang sudah mulai menciutnyali Belanda akhirnya mendapat hambatan
setelah anaknya Sultan Hajiyang baru saja tiba dari tanah suci memotong arah
politiknya sertakompromi dengan Kompeni untuk menghancurkan ayahnya
sendiri.Kerjasama antara Sultan Haji dengan Kompeni akhirnya bisa
memadamkanperlawanan-perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutsetianya
akhirnya ditangkap dan dipenjarakan kompeni hingga wafatnyatahun 1692.Surutnya
perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa dan naik tahtanyaSultan Haji pada dasarnya
adalah kemenangan Kompeni vang berhasilmengadu domba antara dua Sultan yang
bertalian darah. Terlebih setelahditandatanganinya perjanjian antara Sultan
Haji dengan Kompeni (1682)maka Banten betul-betul menjadi kekuasaan Kompeni
sebab Sultan hanyasimbol belaka.[29]
6.
Fase Perlawanan
Rakyat yang dipelopori Ulama
Setelah Banten dikuasai Kompeni,
sementara sultan tidak bisaberbuat apa-apa kecuali menuruti kebijaksanaan
Kompeni maka muncullahpergerakan perlawanan serta pemberontakan yang terjadi di
seluruhpelosok Banten yang tidak puas terhadap Belanda yang telah mencaplokhak
asasi rakyat Banten.Rata-rata pimpinan pergerakan perlawanan itu adalah ulama
(eliteagama) seperti Kiai Wakhia, Kiai Wasyid dan lain-lain. Mereka itulahyang
menyadarkan umat untuk merebut harga diri dan hak asasi rakyatBanten yang
dirampas orang-orang kafir dari dunia Barat.[30]
C.
Kedudukan dan
Peran Serta Ulama dalam Kesultanan Banten
Kedudukan sultan-sultan Banten diakui bukan saja sebagai kepalapemerintahan
yang memiliki otoritas tertinggi tetapi juga sebagai kepalaagama di wilayahnya
dengan demikian maka lembaga-lembagakeagamaan mendapat perhatian, pengakuan
serta perlindungan penuh darisulta, terutama ulamanya. Mereka termasuk kelompok
kelas elite yangmemiliki pengaruh besar terhadap jalannya pemerintahan
ataupunmasyarakat.Tidak sedikit kaum ulama yang ditempatkan di posisi
terhormatsebagai suatu sistem dalam kerangka umum administrasi negara,
baikpusat maupun di tingkat lokal (daerah) disamping kelas administrasisekuler
bahkan terdapat suatu lembaga tinggi pemenntah yang secaraspesifik
pengelolaannya diserahkan kepada kaum ulama yaitu "MahkamahAgung"
dengan gelar resminya Fakih Hajamuddin.
Disamping kaum elite agama yang terlibat langsung dalam
kerangkasistem administrasi pemerintah juga terdapat kelas elite agama
partikelir(tidak memiliki kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan) mereka
jugamendapat perlindungan dan Sultan.Melihat kedudukan ulama begitu terhormat,
bukan saja sebagai kaumrohaniawan tetapi juga menduduki jabatan tinggi
pemerintahan, makaperanannya pun dalam ikut serta menjaga stabilitas dan
harmonisasipemerintahan sangatlah besar.
Ketika terjadi peristiwa penyerbuan atas Pakuan Pajajaran Hindupada
masa pemerintahan Maulana Yusuf, peran ulama sangat besar, bukansaja sebagai
pemberi spirit tetapi juga terlibat dalam pertempuran.Suasana harmonis antara
ulama dan umara’ Berjalan dari masakemasa hingga terjadinya aneksasi Belanda
atas Banten. Kesempatanulama (kaum elite agama) untuk berpartisipasi dalam
soal-soal kebijaksanaanpemerintah sudah tidak ada peluang, semuanya sudah
diatur olehBelanda. Peranan Pejabat-pejabat agama seperti penghulu, personil
masjidsemakin dipersempit dan bahkan banvak didudukan pejabat-pejabat
biasadengan pengawasan ketat dan pemenntah Belanda. Pembatasan terhadapjama'ah
haji juga dilakukan. tetapi jumlah peserta dalam setiap tahunnyaterus
meningkat. Sebagai akibat dari kebijaksanaan-kebijaksanaan yangmendiskreditkan
kaum elite agama (ulama) itu serta adanya pemnnatanhak asasi rakyat, maka
bangkitlah ulama-ulama Banten untuk mengadakanperlawanan terhadap Kompeni
Belanda.[31]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pada awal abad ke-15 Masehi, di pesisir utara teluk Banten telah
tumbuh kantong-kantong pemukiman orang-orang muslim. Saat itu Banten telah
menjadi salah satu Bandar penting Kerajaan Sunda yang ibu kota kerajaannya
terletak di dekat Kota Bogor sekarang. Selain Banten, beberapa Bandar penting
Kerajaan Sunda pada awal abad ke-16, sebagaimana disebut oleh Tome Pires (1513)
adalah Pondam (Pontang), Tamgaram (Tanara), Cheguide (Cigede), Calapa (Kalapa),
dan sebagainya. Sebenarnya menjelang abad ke-16 beberapa Bandar yang terletak
di utara Jawa seperti Gresik, Demak, dan Banten telah menjadi jalur dan pusat
sosialisasi Islam di Jawa yang dilakukan oleh para wali. Penguasaan
bandar-bandar ini merupakan upaya menuntaskan Islamisasi pantai utara Pulau
Jawa. Banten sebagai kota pelabuhan antarpulau dan antarnegara kemudian tumbuh
pesat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kesultanan Banten sebagai
kerajaan Islam yang didirikan oleh Syarif Hidayatullah bersama anaknya
Hasanuddin.
Sebagaimana kerajaan tradisional lainnya, kekuasaan Sultan di sinimempunyai
otoritas tertinggi serta mempunyai hak prerogratif penuh atassegala urusan,
baik politik atau lainnya. Pengakuan dan pengukuhan atasjabatan Sultan
ditetapkan berdasarkan warisan.Dalam melaksanakan tugasnya (bidang
administratif pemerintahan)Sultan dibantu seorang Mangkubumi dan beberapa
pejabat bawahannya;mereka ini terdiri dari golongan elite yang kebanyakan bukan
golonganpangeran atau kaum bangsawan lain. Adapun khusus untuk kerabat
Sultanatau kaum bangsawan menempati strata lebih rendah di bawah Sultandan
lebih tinggi di atas pejabat administratif.Untuk urusan birokrasi pusat
dikepalai oleh seorang patih (wazir besar) yang dibantu dua orang kliwon yang
juga disebut Patih, sedang pengadilan dan keagamaan diserahkan kepada Fakih
Hajamuddin. Setingkat di bawahnya adalah para punggawa yang menangani bidang
administrasi dan pengawasanterhadap perekonomian negara. Syahbandar adalah
pejabat negara yang ditugasi untuk mengawasi perdangan luar negeri di kota-kota
pelabuhan. Sejajar dengan pejabat-pejabat di kotakota pelabuhan ialah para
kepala daerah. Untuk mencermati perjalanan sejarah perpolitikan kerajaan
Banten, internal maupun eksternal marilah kita simak fase-fase berikut ini.
1.
Fase Perintisan
2.
Fase
Perkembangan
3.
Fase Krisis
Politik dan penuh intrik
4.
Fase
Rekonstruksi
5.
Fase Lepasnya
Kesultanan Banten Dianeksasi Belanda
6.
Fase Perlawanan
Rakyat yang dipelopori Ulama
Kedudukan
sultan-sultan Banten diakui bukan saja sebagai kepala pemerintahan yang
memiliki otoritas tertinggi tetapi juga sebagai kepala agama di wilayahnya
dengan demikian maka lembaga-lembaga keagamaan mendapat perhatian, pengakuan
serta perlindungan penuh dari sulta, terutama ulamanya. Mereka termasuk
kelompok kelas elite yang memiliki pengaruh besar terhadap jalannya
pemerintahan ataupun masyarakat. Tidak sedikit kaum ulama yang ditempatkan di
posisi terhormat sebagai suatu sistem dalam kerangka umum administrasi negara,
baik pusat maupun di tingkat lokal (daerah) disamping kelas administrasi
sekuler bahkan terdapat suatu lembaga tinggi pemenntah yang secara spesifik
pengelolaannya diserahkan kepada kaum ulama yaitu "Mahkamah Agung"
dengan gelar resminya Fakih Hajamuddin.
Lubis,
Nina Herlina dkk. (2003). Sejarah Tatar Sunda Jilid 1.Bandung: Lembaga
Penelitian Universitas Padjadjaran.
Yahya,
M. Harun. (1995).Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII. Yogyakarta:
Kurnia Kalam Sejahtera.
Graaf,
H.J. De. (1986).Kerajaan-Kerajaan Islam Jawa. terj. Grafiti Pers &
KILTV. Jakarta: Grafiti Pers.
Ambary,
Hassan Muarif dkk. (1988).Sejarah Banten dari Masa ke Masa. Serang: t.p.
[1] Nina Herlina
Lubis dkk., Sejarah Tatar Sunda Jilid 1, (Bandung: Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran, 2003), hlm. 203-205.
[3]M. Harun Yahya,
Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, (Yogyakarta: Kurnia Kalam
Sejahtera, 1995), hlm. 33.
[4] Nina Herlina
Lubis dkk., op. cit., hlm. 210 .
[11]M. Harun Yahya,
loc. cit., hlm. 33-34.
[12] H.J. De Graaf,
Kerajaan-Kerajaan Islam Jawa, terj. Grafiti Pers & KILTV,(Jakarta:
Grafiti Pers, 1986), hlm. 148 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 34.
[13] Hassan Muarif
Ambary dkk., Sejarah Banten dari Masa ke Masa, (Serang: t.p., 1988),
hlm. 14-19 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 34.
[14] H.J. De Graaf,
op. cit., hlm. 152 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 35.
[15] Hassan Muarif
Ambary dkk., op. cit., hlm. 21 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm.
35.
[16] H.J. De Graaf,
loc. cit., hlm. 152 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 35.
[17] H.J. De Graaf,
loc. cit., hlm. 153-154 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm.
35-36.
[18] Hassan Muarif
Ambary dkk., loc. cit., hlm. 31-32 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm.
36.
[19] M. Harun
Yahya, loc. cit., hlm. 36-39.
[20] Sartono
Kartodirdjo dkk., Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta:
Depdikbud, 1975), hlm. 361 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm. 39.
[21] Suasana perbedaan
persepsi antara Sultan Haji (sebagai anak) dengan Sultan Ageng Tirtayasa
(sebagai ayah) di sini ialah merupakan hasil nyata politik Kompeni yang memecah
belah (devide et impera) Negara.
[22] M. Harun
Yahya, loc. cit., hlm. 39-40.
[23] M. Harun
Yahya, loc. cit., hlm. 40.
[24] Hassan Muarif
Ambary dkk., loc. cit., hlm. 98 dalam M. Harun Yahya, loc. cit., hlm.
40.
[25] M. Harun
Yahya, loc. cit., hlm. 41.
[26] M. Harun
Yahya, loc. cit., hlm. 41.
[27] M. Harun
Yahya, loc. cit., hlm. 41-42.
[28] M. Harun
Yahya, loc. cit., hlm. 42-43.
[29] M. Harun
Yahya, loc. cit., hlm. 43.
[30] M. Harun
Yahya, loc. cit., hlm. 43.
[31] M. Harun
Yahya, loc. cit., hlm. 44.